Buat saya,
Fotografi bukanlah medium pengganti dikarenakan saya tidak bisa menggambar ataupun melukis. Fotografi buat saya adalah pilihan media visual paling pas untuk menyampaikan tajuk rencana saya, baik itu untuk mempertanyakan sesuatu, membuat sebuah kesimpulan, atau sekedar menyimpan memori untuk diceritakan nantinya. Fotografi buat saya adalah arsip yang berfungsi sebagai medium pengganti suara dan teks, alat komunikasi sekunder bahkan terkadang primer.
Kenapa? karena subjektivitas saya dalam menyampaikan sesuatu bisa terwakili tanpa harus menjelaskan panjang lebar (hingga terkadang membuat alasan mengada-ada demi sebuah keniscayaan) melalui medium fotografi, yang bisa dikatakan sebagai medium yang objektif. Mungkin.
Iya mungkin, karena pada awalnya fotografi diciptakan sebagai alat untuk merekam objek dengan tendensi untuk mencapai kesepakatan bersama dalam menilai sesuatu, suatu objektivitas. Saat itu fotografi banyak digunakan sebagai alat bukti maupun alat penelitian. Kemudian medium fotografi mulai digunakan untuk memperbantukan kerja arsitektur dan seniman sebagai bagian dari pengarsipan, hingga menjadi elemen utama dalam dunia periklanan bahkan propaganda saat era perang.
Fungsi fotografi mulai berkembang lagi sebagai medium eksplorasi dalam berkomunikasi saat George Eastmann membuat perusahaan bernama Kodak, lalu membuat kamera yang harganya bisa dijangkau oleh banyak kalangan. Fotografi berkembang menjadi wacana yang akhirnya bisa menyalurkan hasrat otak kanan. Hingga kini pada akhirnya fotografi bisa berdiri sendiri dan bersandingan dengan karya seni lain untuk hadir dalam kancah seni rupa.
(Untuk wacana fotografi era sebelum perang, era perang, pasca perang, dan seterusnya akan coba saya ceritakan nantinya, kalau otak saya gak korslet.)
Kembali ke wacana subjektivitas dalam fotografi.
Saya tidak akan membahas tentang gerakan “Subjective Fotografie” yang populer di era 50’an di eropa sebagai pergerakan fotografi eksperimental. Saya hanya akan menceritakan opini saya tentang fotografi sebagai medium subjektivitas seseorang/kelompok berkomunikasi menyampaikan sebuah cerita dalam bentuk visual. Subjektivitas itu sendiri bisa jadi berupa teknis dalam memotret, proses memaknai objek yang kita rekam, membuat cerita atau artian baru untuk objek yang kita rekam, hingga memutuskan kapan saatnya mengeksekusi objek tersebut untuk kita masukkan ke dalam frame.
Menurut saya, karya fotografi adalah hasil dari berbagai macam subjektivitas yang sudah terkompromi dari sang empunya kamera, dengan banyak hal yang menyertai pada prosesnya. Sepersekian detik seseorang memutuskan untuk memencet tombol shutter kamera (ataupun enter, jika sang juru foto memutuskan untuk menggunakan media perantara lain sebagai kamera) merupakan salah satu dari bentuk tindakan subjektif yang dikompromikan dari sang juru foto untuk menghasilkan sebuah frame. Bisa terlihat dari ide Decisive Moment yang menurut saya di perkenalkan terlebih dahulu oleh Jacques Henri Lartigue baru kemudian disempurnakan oleh Henri Cartier Bresson. Disini proses menganalisa dan menunggu menjadi keasyikan tersendiri sebelum memutuskan untuk merekam suatu momen.
Bahkan untuk para juru foto yang terbiasa mengeksekusi frame yang plek-ketiplek dengan contoh/referensi yang diberikan oleh pihak pemesan, saya merasa subjektivitasnya masih bisa ditemukan dalam fotonya, dilihat dari cara maupun teknik untuk mengeksekusi frame yang ingin di tiru. Misalnya, dari pemilihan medium kamera, model, lokasi, properti yang digunakan, sampai tahap post processing sebuah foto. Saya yakin ada ego-nya yang sedikit berbicara, hanya saja mungkin porsi kompromi dan pasrahnya saja yang lebih besar. Oleh karenanya, saya tidak merasa perlu men-cap tidak baik/bagus fotografer yang melakukan aktifitas seperti yang saya sebut di atas. Hanya miris saja dan tersenyum simpul sambil berbisik, ciyann… segitunya.. :)
Subjektivitas seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal. Pengalaman melihat, mendengar, merasa yang diramu dan di saring dengan pengetahuan yang dimiliki tiap orang menjadi faktor yang membedakan dalam membuat karya apapun itu, termasuk karya foto. Itu kenapa saya percaya jika ada dua orang dengan dua kamera yang sama, lensa yang sama, objek dan waktu yang sama memotret secara bersamaan, pasti ada perbedaan yang signifikan antara frame yang dihasilkan oleh satu sama lain. Baik itu dari sudut pengambilan gambar, exposure, sampai kedalaman ruang.
Lagi-lagi subjektivitas yang terbentuk dari pengalaman dan pengetahuan dari masing-masing orang akan menjadi pembeda. Hal tersebut yang membuat saya percaya bahwa fotografi adalah medium yang memiliki karakter objektif sebagai alat, namun subjektivitas dari sang fotografer yang akhirnya menentukan cerita maupun value dari foto yang dihasilkan.
Walau demikian, ada satu hal yang terus saya ingat, membandingkan adalah sesuatu yang wajar, jangan tersinggung karenanya. Karena tren itu berulang dan selera itu tak bisa dipaksakan, dan kemungkinan kita untuk menghormati sosok/tren/gaya yang sama cukup besar. Legowo.
Untuk saya pribadi, saya memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu melihat, mendengar dan berbicara dengan yang nyata ketimbang melalui perantara monitor/screen untuk mempertajam filter subjektivitas saya dalam bercerita melalui visual yang saya buat nantinya agar lebih dimengerti. Di catatan saya sebelumnya saya menyinggung tentang “Jeda Estetika”, hal tersebut biasa saya lakukan untuk kembali mengobservasi baru kemudian mengeksekusi cerita yang ingin saya sampaikan melalui medium fotografi dalam bentuk persentasi visual. Jadi fase jeda itu cukup penting buat saya, karena tujuannya adalah agar apa yang ingin saya sampaikan tidak memberikan jarak bagi pemirsanya. Fase ini bisa saja saya lakukan saat saya memotret maupun setelahnya. Mengalir saja.
Dan saat ini saya berada dalam fase sebuah aliran yang apa adanya. Pengalaman saya berada dalam dunia industri komersial sebagai pelaku industri, membuat saya (sebagai seseorang yang berkarya dengan medium fotografi) merasa perlu untuk berbicara nyata dalam karya saya, tidak melulu memberi mimpi dalam dunia fantasi ataupun sosok yang kelewat sempurna. Buat saya, “value” sebuah karya bukan lagi dilihat dari seberapa sempurnanya objek yang saya rekam, salah satunya adalah dari seberapa apa adanya objek yang bersangkutan.
Bahkan saat seseorang melihat karya saya untuk kemudian berbicara “Ah, gw juga bisa bikin kaya gini..”, hal tersebut justru membuat saya senang dan merasa berhasil sebagai seseorang yang berkomunikasi melalui medium fotografi. Terima kasih John Baldessari.
Foto yang menarik buat saya adalah foto tanpa teks pendukung menggurui. Cukup keterangan singkat dalam sebuah kata atau kalimat yang mewakili cerita yang ingin disampaikan sebagai pengantar jika memang diperlukan. Untuk setelahnya membebaskan artian kepada pemirsanya dengan pengalamannya masing-masing. Ilustrasinya adalah semisal, saya datang ke sebuah pameran foto, saya lebih suka melihat foto yang terpajang ketimbang menunduk membaca katalog untuk tau artinya apa.
Lalu terkait dengan pemilihan persentasi dengan gaya yang sifatnya dokumentatif, pictorial, lucu, satir, bahkan sampai terkadang tidak dimengerti sama sekali, bisa dibilang adalah itu adalah pesan yang mewakili subjek utama dalam sebuah karya yang di susun dalam sebuah frame, yaitu fotografer itu sendiri.
Dan kemungkinan besar saya adalah kamu, hanya saja cara kita menikmati kopi beda takarannnya. Tapi saya ingin kita masih bisa duduk sejajar ngobrol santai minum kopi bersama, membicarakan wacana yang sama, walau persepsi kita akan berbeda nantinya.
Yogi Kusuma
16.05.’16